Bagaimana Dinosaurus Tidur?

Mei long

Satu per satu fosil dinosaurus ditemukan. Beragam spesies dinosaurus pun terungkap. Meski demikian, masih banyak pula misteri yang melingkupi satwa purba tersebut.

Salah satu pertanyaan iseng diajukan oleh Brian Switek, seorang penulis sains serta peneliti di New Jersey State Museum. Ia mempertanyakan bagaimana cara dinosaurus tidur.

"Apakah Apatosaurus berdiri atau berlutut saat istirahat? Apakah Tyranosaurus bangkit dengan lengan kecilnya setelah tidur siang? dan, apakah dinosaurus berpelukan agar tetap hangat di malam hari masa Mesozoikum?" demikian sejumlah pertanyaan yang diajukannya dalam tulisan di blog Smithsonian.

Dalam tulisan yang di-posting pada 9 Oktober 2012 tersebut, Switek menyajikan sejumlah hasil penelitian yang dapat sedikit menjawab pertanyaan tentang posisi tidur dinosaurus.

Salah satu temuan yang bisa menjawab adalah fosil Mei Iong, dinosaurus golongan troodontid (mirip burung) yang punya mata besar serta cakar yang bisa dibalik di kakinya. Fosil itu ditemukan oleh dua palaentolog, Xing Xu dan Mark Norell, pada tahun 2004.

Setelah dianalisis, Mei Iong yang berarti "naga yang tidur" ternyata mati dalam posisi seperti burung modern beristirahat. Kepala dinosaurus itu direbahkan di antara lengannya dan ekornya dilipat ke bagian tubuh utama.

Minggu lalu, baru saja ditemukan fosil dinosaurus sejenis, tetapi berukuran kecil. Penemunya adalah Chunling Gao dari Dalian Natural History Museum in China. Posisi fosil tersebut identik dengan fosil Mei sebelumnya.

Dua spesimen Mei tersebut bukan satu-satunya dinosaurus yang ditemukan dalam posisi tidur. Spesimen troodontid lain yang ditemukan di Mongolia, Sinornithoides youngi, juga ditemukan dalam posisi sedang beristirahat.

"Sementara itu, penulis tidak menuliskan dalam makalah penelitiannya, posisi tidur Mei dan Sinornithoides tersebut mengingatkan saya pada dinosaurus di awal era Jurassic, Segisaurus. Dideskripsikan pada tahun 1936, tulang Segisaurus ditemukan dengan kaki terselip di bawah tubuhnya dan lengan berada dalam posisi beristirahat," ungkap Switek.

Switek mengungkapkan, mungkin dinosaurus-dinosaurus itu mati saat tidur.

"Bukti-bukti memang jarang, tapi bukti yang ada membantu memberi gambaran beberapa momen dalam sejarah Mesozoikum," paparnya.

Jejak Kedahsyatan di Sorowako

Petani bekerja di sawah dengan latar tebing karst di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Minggu (5/8/2012). Selain menjadi salah satu daerah penghasil padi, kawasan Pangkep juga menyimpan keindahan tebing karst yang memiliki puluhan gua purbakala.

Jejak kedahsyatan pergerakan lempeng yang membentuk geologi Sulawesi itu tercetak jelas di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kota kecil di sisi timur Sulawesi ini merupakan penghasil utama nikel dunia.

”Inilah singkapan batuan ultrabasa atau ultramafik yang menyusun kompleks East Sulawesi Ophiolite,” kata Gde Handojo Tutuko, geolog dari PT Vale Indonesia, menunjukkan hamparan batuan berwarna hitam kehijauan di perbukitan sekitar Danau Matano.

East Sulawesi Ophiolite terbentang dari Luwu Timur, bagian tengah Poso-Morowali, Sorowako, hingga Sulawesi Tenggara. East Sulawesi Ophiolite, menurut Gde, merupakan salah satu jalur ofiolit terbesar di dunia setelah Oman dan Papua Niugini.

Batuan ultrabasa di jalur ofiolit ini berasal dari kerak samudra yang terangkat karena proses tumbukan lempeng jutaan tahun lalu.
”Karena dia terangkat lalu tersingkap, perlahan batuan mengalami pelapukan. Dari lapukan batuan ultrabasa ini, ada banyak mineral yang bisa diambil, di antaranya nikel, kobalt, mangan, bijih besi, dan kromit,” kata Gde. ”Karena kita berada di daerah tropis yang mendapat banyak hujan dan panas matahari, pelapukan batuan ultrabasa pun sangat tinggi. Berkahnya potensi nikel di Sulawesi merupakan yang terbesar di dunia.”

Saat ini, menurut Gde, keberadaan batuan ultrabasa di East Sulawesi Ophiolite sudah terjelaskan. Tumbukan lempeng di masa lalu yang sedemikian dahsyat adalah penyebab terjadinya pengangkatan kerak samudra sehingga membawa batuan ultrabasa bercampur aduk dengan batuan gamping. ”East Sulawesi Ophiolite adalah bukti nyata kebenaran teori pergerakan lempeng Bumi,” katanya.

Namun, pada awal 1970-an, ketika teori pergerakan lempeng benua masih berada pada tahap awal, fenomena ini sangat mengejutkan Peter E Hehanusa, geolog senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat itu, Hehanusa dan beberapa geolog dari Amerika sangat terkejut saat menyusuri jalan darat dari Sorowako ke Malili, ibu kota Kabupaten Luwu Timur. Di tebing yang dipapras untuk pembangunan jalan, dia melihat singkapan batuan ultrabasa yang bercampur dengan batu gamping.

”Selama di bangku kuliah, kami tidak pernah belajar bahwa batuan ultrabasa yang terbentuk di dasar laut dan tengah laut dalam dapat berada bersama, bahkan campur aduk dengan batuan gamping yang terbentuk di laut dangkal,” sebut Hehanusa dalam tulisannya di National Geographic Indonesia edisi Desember 2008.

Hehanusa menyebutkan, semua bidang batas pertemuan batuan ultrabasa dan batu gamping itu membentuk permukaan yang licin mengilat, menandakan telah terjadi penggerusan hebat di masa lalu. ”Di depan mata tergambar bagian yang sangat penting dalam sejarah pembentukan Bumi, zona tempat pertumbukan antarlempeng benua, sebuah bukti upduction.”

Fenomena upduction ini, menurut Hehanusa, merupakan kebalikan dari subduction di deretan Pulau Simeulue-Nias-Siberut-Enggano di barat Sumatera yang juga dipicu oleh pertemuan di antara dua lempeng. Terbentuknya Pulau Sulawesi berkontribusi besar terhadap perkembangan teori pergerakan lempeng yang menjadi dasar untuk memahami terjadinya gempa bumi dan tsunami.

Bagi geolog Imran Umar, jejak kedahsyatan gejolak geologi Sulawesi pada masa lalu itu juga bisa dilihat dari tiang-tiang karst yang berderet di sepanjang Maros, Pangkep, hingga Toraja. Guru besar geologi Universitas Hasanuddin ini telah puluhan tahun meneliti karst di Sulawesi Selatan.

”Kars di Sulawesi Selatan membuktikan bahwa kawasan ini dulu pernah berada di tepian Paparan Sunda,” kata Imran. Di kawasan ini terdapat batuan karbonat yang dikenal sebagai formasi Tonasa di selatan dan formasi Makale di Toraja (utara). ”Dua batuan kapur ini terbentuk pada paparan yang dikelilingi oleh laut dalam.

Formasi kapur ini terbentuk pada periode Eosen sampai Miosen awal, sekitar 56-18 juta tahun lalu. Pada periode ini, Lempeng Australia mulai menumbuk tepian paparan Sunda dari arah tenggara. Di lain sisi, di Selat Makassar mulai terjadi bukaan kerak Bumi.
”Tumbukan lempeng ini mengakibatkan munculnya banyak retakan penyesaran di batuan karbonat. Di situlah mulai terbentuknya karstifikasi, munculnya goa-goa, seperti di Maros dan Pangkep,” kata Imran.

Karst Maros-Pangkep adalah kekayaan alam tak ternilai. Tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga ilmu pengetahuan. Paling tidak, menurut Imran, ada tiga disiplin ilmu yang bisa dipelajari dari rangkaian karst itu, yaitu geologi, biologi, dan arkeologi.

”Kalau karst ini hilang, kita kehilangan salah satu bukti sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi,” katanya.

Tak hanya menandai pergolakan geologi Sulawesi, batuan kapur ini, menurut Imran, juga menandai periode naik-turunnya permukaan air laut pada masa lalu. ”Di Tanjung Birah dan Leang Leang terdapat paleobeach atau pantai purba. Di sana ada tebing yang terabrasi laut yang membuktikan bahwa pada masa lalu kawasan itu pernah berada di tepi pantai. Sekitar 30.000 tahun lalu, air laut di kawasan Asia Tenggara pernah naik hingga 65 meter dibandingkan permukaan sekarang,” kata Imran.

Di goa-goa ini juga banyak ditemukan sampah dapur manusia purba berupa cangkang kerang yang membuktikan kawasan ini dulu berada tak jauh dari laut. Dalam penelitian yang dilakukan Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ditemukan umur kerang sekitar 9.000-30.000 tahun lalu.

Jejak tapak tangan berwarna dan aneka lukisan berwarna merah oker di langit-langit goa menguatkan jejak keberadaan manusia purba. Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin, mengatakan, karst Maros-Pangkep menyimpan goa atau ceruk yang merupakan situs zaman mesolitik (5.000 tahun sebelum Masehi) dan zaman neolitik (3.000 tahun sebelum Masehi). Di Goa Leang Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, dan Goa Sakapao di Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, misalnya, ditemukan artefak batu, sampah dapur, dan lukisan dinding goa berupa telapak tangan dan babirusa.

Goa pada zaman mesolitik digunakan manusia sebagai tempat singgah. Pada zaman neolitik, goa digunakan untuk tempat tinggal dalam waktu yang lebih lama. Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, terdapat 16 situs goa prasejarah di Kabupaten Maros dan 17 situs goa prasejarah di Kabupaten Pangkep.

Selain menyimpan jejak geologi dan arkeologi, susunan karst di Maros-Pangkep ini juga merupakan habitat flora-fauna yang khas. Amran Achmad, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, menyebutkan, di wilayah karst Maros-Pangkep terdapat tak kurang dari 284 jenis tumbuhan berkayu, sebagian di antaranya adalah endemis.

Fauna khas terutama adalah kupu-kupu, seperti Papilio blumei, P polites, P satapses, Troides haliphron, dan beberapa jenis lain. Selain itu, juga terdapat monyet dare (Macaca maura). Bahkan, Wallace menjuluki Bantimurung sebagai kerajaan kupu-kupu. Ia sangat takjub tatkala menyaksikan ribuan kupu-kupu yang terbang membentuk awan dan memendarkan cahaya keputihan saat kawanan itu singgah di tepi Sungai Bantimurung, Maros.

Wallace mencatat sedikitnya 300 spesies kupu-kupu hidup di dalam kawasan yang kini bernama Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB), sekitar 40 kilometer arah utara Kota Makassar. Wilayah TNBB, yang umumnya berupa perbukitan kapur (karst), kaya akan sumber mata air dan hampir berkondisi lembab sepanjang waktu.

”Kupu-kupu menyenangi tempat basah. Itulah mengapa tak hanya kupu-kupu endemis yang hidup di Bantimurung, tetapi juga yang berasal dari Papua dan Pulau Seram (Maluku),” kata Rusman Muliady, staf Balai TNBB.

Saat ini, perbedaan satwa Sulawesi dan pulau sekitarnya bisa dijelaskan dengan posisi pulau ini yang telah lama terpencil di kepulauan Nusantara. Dari rekam jejak pembentukannya, Sulawesi telah terisolasi oleh lautan dengan pulau-pulau lain sejak tidak kurang dari 10 juta tahun lalu.

Beberapa binatang yang terjebak dan hidup di sana kemudian mengembangkan diri sesuai kondisi alam dan keterasingan ini. Tak hanya beradaptasi, sebagian binatang juga mendapatkan keuntungan dari kondisi alam ini.

Maleo, misalnya, memanfaatkan ladang geotermal untuk menetaskan telurnya. Karena tidak mengerami telurnya, maleo selalu mencari ladang geotermal untuk menghangatkan telurnya.

Demikian halnya babirusa yang memanfaatkan air kaya mineral di adudu. Dalam penelitian yang dilakukan Lynn Clayton (1996) ditemukan, babirusa membutuhkan air garam adudu untuk melindungi pencernaan mereka agar tidak menjadi terlalu asam sekaligus perlindungan dari racun biji buah pangi, makanan utama binatang ini. Analisis geokimia terhadap tanah dan air di adudu menunjukkan, kandungan sodiumnya 36 kali lipat dibandingkan dengan air biasa.

Tsunami Tertua di Nusantara



Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Tak lama kemudian air laut datang dengan suara bergemuruh.

Demikian penggalan catatan naturalis Georg Everhard Rumphius tentang gempa dahsyat disusul tsunami yang melanda Pulau Ambon dan Seram pada 17 Februari 1674. Catatan itu dibuat Rumphius pada 1675 dan jadi satu-satunya naskah yang diterbitkannya semasa hidup.

Kastel Victoria di Leitimor itu kini ada dalam kompleks Benteng Victoria, Ambon. Lokasi benteng ini persis di seberang Kantor Gubernur Provinsi Maluku. Saat ini benteng itu dijadikan kompleks perkantoran dan perumahan Komando Daerah Militer XVI/Pattimura.

Catatan Rumphius itu sejauh ini merupakan dokumentasi lengkap tertua yang dibuat tentang gempa dan air laut naik (istilah tsunami belum dikenal saat itu) di Nusantara. Sebelumnya, bahkan hingga ratusan tahun kemudian, kisah tsunami di Nusantara lebih kerap disebutkan dalam cerita lisan.

Awalnya, naskah ini disimpan di Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag dalam kategori anonim. Baru pada tahun 1871 ditetapkan bahwa laporan itu dibuat Rumphius. Pada tahun 1998, catatan itu diterbitkan kembali atas transkripsi W Buijze.

MJ Sirks PhD, profesor genetika dari Universitas Groningen dalam tulisan Rumphius, the Blind Seer of Amboina menyatakan, Rumphius begitu terikat dengan Ambon karena selama hampir 50 tahun dia tinggal di sana dan mengalami tragedi sekaligus kebahagiaan dalam pekerjaannya.

Penyaksi buta
Kisah perjalanan Rumphius memang penuh tragedi. Dia menghabiskan masa mudanya di Hanau, Jerman, tempat ayahnya, August Rumpf, menjadi arsitek terkenal. Namun, itu tidak menghalangi ketertarikan Rumphius untuk menjadi petualang. Ia berharap untuk melihat dunia yang lebih besar dari Hanau.

Rumphius pun meminta gurunya, Count Ludwig von Solms Grifenstein-Braunfels, untuk didaftarkan sebagai tentara Republik Venesia.

Namun, setelah naik ke kapal di Holland, bagian barat Belanda, ia sadar telah ditipu. Rumphius ternyata justru dimasukkan menjadi tentara West Indies Company (WIC). Awalnya dia memang akan dikirim sebagai prajurit ke Venesia, namun kapal itu mengubah haluan dan membawa para prajurit itu ke Brasil.

Di tengah jalan, kapal Swarte Raef, yang membawa Rumphius, diserang kapal Portugis. Rumphius kemudian dibawa ke Portugis. Di sana ia dan teman- teman prajuritnya dilatih untuk menjadi tentara Portugis.

Periode ini menjadi titik balik kehidupan Rumphius. Di Portugis, keinginan bertualangnya tersalurkan ke arah lain. Ia mendengar begitu banyak cerita luar biasa tentang dunia timur, dunia tumbuhan yang aneh, dan hewan-hewan asing yang juga aneh. Semua itu membuat keinginan Rumphius untuk menjelajah kian besar.

Setelah meninggalkan Portugis pada 1648 atau 1649, Rumphius kembali ke Hanau. Pada akhir 1652, ia mendaftarkan diri sebagai tentara East Indies Company (EIC). Pada Juni 1653, dia pun mendarat di Batavia dan pada 8 November ia pergi ke Pulau Ambon.

Menjadi tentara ternyata tidak memuaskannya. Gubernur Ambon saat itu, Jacob Hustaerdt, kemudian memberinya tugas sipil. Pada 1662 Rumphius resmi menjadi menjadi pegawai perdagangan di perusahaan EIC.

Pada saat itu juga Rumphius mulai mempelajari hewan dan tumbuhan di Ambon secara sistematis. Selama bertahun-tahun ia mendedikasikan waktu luangnya untuk belajar dan menulis tentang flora dan fauna Ambon.

Rumphius kemudian menjadi pimpinan di Hitu, sebuah daerah di pesisir utara Jazirah Leihitu di bagian utara Pulau Ambon. Di sana ia tinggal bersama keluarganya. Setelah dibebastugaskan dari perusahaan, Rumphius menemukan kebahagiaan dengan meneliti alam.

Namun, pada tahun 1770 Rumphius mengalami tragedi tragis. Dia kehilangan penglihatannya, tanpa ada penjelasan penyebabnya. Kebutaan yang dialami tidak menghalanginya untuk melanjutkan penelitiannya tentang flora dan fauna Ambon.

Dalam ilmu alam, Rumphius menghasilkan tiga kerja besar: Amboinsch Kruidboek, Amboinsch Rariteitkamer, dan Amboinsch Dierboek.

Kruidboek atau ”Herbarium Amboinense” dipandang sebagai karya terbesar Rumphius. ”Di antara tulisan-tulisan itu ada tulisan Rumphius lain yang kurang penting. Akibatnya, Tuan-tuan yang Mulia, ia tidak terlalu merekomendasikannya. Ada yang Amboinsche-Rariteitkamer, yang terdiri dari tiga buku, dan masih ada buku lain, Land-, Lugt-en Zeegedierten dari kepulauan ini...” (dari surat Gubernur Ambon ke Gubernur Jenderal di Batavia pada 20 Mei 1697).

Pada 1679 dan 1680, Gubernur Ambon memberikan asisten yang bernama Daniel Crul untuk membantu kerja Rumphius. Anak Rumphius, Paulus Augustus, juga membantu, setidaknya dari 1686. Rumphius menghasilkan banyak sekali karya sehingga Gubernur Ambon Dirck de Haes menulis, ”Pekerjaan sepertinya telah selesai, dan saat ini ada 1.720 bab termasuk 12 buku.”

Namun, tragedi rupanya tidak menjauh dari Rumphius. Dalam kebakaran besar di Ambon, pada 11 Januari 1670, buku, koleksi, dan manuskrip Rumphius turut hancur. Untungnya sebagian buku utama bisa diselamatkan, namun gambar-gambar yang dibuat Rumphius sebelum tahun 1670 turut dimakan api.

Tragedi terbesar
Bagi Rumphius, tragedi terbesar yang dialaminya terjadi pada 1674, ketika gempa dan gelora tsunami melanda. Bukan hanya karena petaka itu menewaskan 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram, tetapi juga menewaskan istri Rumphius dan salah satu anak perempuannya.

Hila, di dekat Hitu, disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita. ”Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas (benteng), mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak seorang pun menduga bahwa air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng (Amsterdam),” tulis Rumphius.

Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai. Sebanyak 1.461 orang tewas di Hila.

Sedangkan di Hitu, menurut Rumphius, air laut naik hingga setinggi 3 meter dan menyeret rumah-rumah kompeni. Sedikitnya 36 orang tewas.

Dengan rinci Rumphius mengisahkan kondisi desa-desa di Ambon dan Seram yang hancur akibat peristiwa itu. Sedikitnya ada 11 desa yang dideskripsikan Rumphius.

Desa-desa itu terentang di sepanjang pesisir utara Jazirah Leihitu, mulai dari Larike di ujung barat hingga Tial di ujung timur. Di Pulau Seram yang tercatat adalah tempat-tempat di daerah Huamual, seperti Tanjung Sial dan Luhu. Catatan lain juga berasal dari Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut.

Dalam khazanah mitigasi bencana, catatan Rumphius ini merupakan warisan penting karena memberi kesaksian bahwa Nusantara memiliki riwayat gempa dan tsunami yang sangat panjang. Jauh sebelum tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Rumphius telah menuliskan tentang bencana sejenis di bagian timur Nusantara.

Sayangnya, catatan rinci Rumphius itu tak banyak diketahui masyarakat Ambon dan Seram. Nama Rumphius bahkan tidak begitu dikenal.

”Tidak banyak yang tahu tsunami yang katanya dicatat Rumphius. Kalau gempa di sini memang sering terasa, tapi masyarakat tidak lari ke bukit, malah diam di tempat,” kata Damri Lating (49), warga Hila.

Hal senada diungkapkan Said Lumaela (52), warga Kaitetu, desa yang bersebelahan dengan Hila. ”Pernah dengar tentang Rumphius, tetapi tidak tahu itu soal apa,” katanya.

Evolusi Gajah Butuh 24 Juta Generasi



Gajah, mamalia terbesar yang hidup di daratan Bumi, dipercaya berevolusi dari mamalia kecil seperti tikus yang hidup setelah dinosaurus punah 65 juta tahun yang lalu.

Ilmuwan menemukan bahwa dibutuhkan waktu 24 juta generasi bagi tikus untuk "berubah" menjadi gajah.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Alistair Evans, ahli biologi evolusi dari Monash University di Australia, menginvestigasi seberapa besar peningkatan masaa tubuh 28 ordo mamalia yang mungkin dicapai dalam 70 juta tahun.

Caranya dengan membandingkan ukuran mamalia terbesar pada waktu yang berbeda. Selanjutnya, menggunakan mamalia modern untuk mengestimasi ukuran di setiap generasi di setiap jenis. Sebagai langkah akhir, Evans memperkirakan waktu yang diperlukan bagi mamalia untuk bertambah ukuran.

Berdasarkan hasil penelitian, waktu yang diperlukan oleh tikus untuk berkembang menjadi mamalia besar seperti gajah lebih lama dari yang diperkirakan. Sebelumnya, ilmuwan memperkirakan bahwa evolusi hanya berlangsung 200.000 hingga 2 juta generasi.

"Ini memberitahu kita bahwa makroevolusi lebih lambat daripada mikroevolusi," kata Evasn seperti dikutip Nature, Senin (30/1/2012).

Untuk membayangkannya, Evans menjelaskan bahwa jika manusia memusnahkan semua hewan yang lebih besar dari ukuran kelinci, maka dibutuhkan 5 juta generasi untuk menghasilkan hewan yang 1000 kali lebih besar atau sebesar gajah.

Jika diterjemahkan dalam satuan tahun, maka evolusi yang dibutuhkan adalah sekitar 20 juta tahun.

Penelitian juga mengungkap bahwa waktu evolusi mamalia air untuk menjadi sebesar paus lebih cepat. Diperlukan 3 juta generasi bagi mamalia laut untuk mencapai ukuran 1000 kali lipat. Menurut Evans, waktu yang lebih cepat dapat dipengaruhi oleh lingkungan air.

Evans dan timnya juga mengungkap bahwa penyusutan ukuran akan berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Menurut Evans, waktu penyusutan ukuran akan berlangsung 30 kali lebih cepat dari waktu peningkatan ukuran.

Apa faktor yang bisa menyebabkan penyusutan? Evans mengungkapkan, penyusutan bisa disebabkan oleh habitat, predator dan sumber makanan yang terbatas.