Home » » Jejak Kedahsyatan di Sorowako

Jejak Kedahsyatan di Sorowako

Petani bekerja di sawah dengan latar tebing karst di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Minggu (5/8/2012). Selain menjadi salah satu daerah penghasil padi, kawasan Pangkep juga menyimpan keindahan tebing karst yang memiliki puluhan gua purbakala.

Jejak kedahsyatan pergerakan lempeng yang membentuk geologi Sulawesi itu tercetak jelas di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kota kecil di sisi timur Sulawesi ini merupakan penghasil utama nikel dunia.

”Inilah singkapan batuan ultrabasa atau ultramafik yang menyusun kompleks East Sulawesi Ophiolite,” kata Gde Handojo Tutuko, geolog dari PT Vale Indonesia, menunjukkan hamparan batuan berwarna hitam kehijauan di perbukitan sekitar Danau Matano.

East Sulawesi Ophiolite terbentang dari Luwu Timur, bagian tengah Poso-Morowali, Sorowako, hingga Sulawesi Tenggara. East Sulawesi Ophiolite, menurut Gde, merupakan salah satu jalur ofiolit terbesar di dunia setelah Oman dan Papua Niugini.

Batuan ultrabasa di jalur ofiolit ini berasal dari kerak samudra yang terangkat karena proses tumbukan lempeng jutaan tahun lalu.
”Karena dia terangkat lalu tersingkap, perlahan batuan mengalami pelapukan. Dari lapukan batuan ultrabasa ini, ada banyak mineral yang bisa diambil, di antaranya nikel, kobalt, mangan, bijih besi, dan kromit,” kata Gde. ”Karena kita berada di daerah tropis yang mendapat banyak hujan dan panas matahari, pelapukan batuan ultrabasa pun sangat tinggi. Berkahnya potensi nikel di Sulawesi merupakan yang terbesar di dunia.”

Saat ini, menurut Gde, keberadaan batuan ultrabasa di East Sulawesi Ophiolite sudah terjelaskan. Tumbukan lempeng di masa lalu yang sedemikian dahsyat adalah penyebab terjadinya pengangkatan kerak samudra sehingga membawa batuan ultrabasa bercampur aduk dengan batuan gamping. ”East Sulawesi Ophiolite adalah bukti nyata kebenaran teori pergerakan lempeng Bumi,” katanya.

Namun, pada awal 1970-an, ketika teori pergerakan lempeng benua masih berada pada tahap awal, fenomena ini sangat mengejutkan Peter E Hehanusa, geolog senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat itu, Hehanusa dan beberapa geolog dari Amerika sangat terkejut saat menyusuri jalan darat dari Sorowako ke Malili, ibu kota Kabupaten Luwu Timur. Di tebing yang dipapras untuk pembangunan jalan, dia melihat singkapan batuan ultrabasa yang bercampur dengan batu gamping.

”Selama di bangku kuliah, kami tidak pernah belajar bahwa batuan ultrabasa yang terbentuk di dasar laut dan tengah laut dalam dapat berada bersama, bahkan campur aduk dengan batuan gamping yang terbentuk di laut dangkal,” sebut Hehanusa dalam tulisannya di National Geographic Indonesia edisi Desember 2008.

Hehanusa menyebutkan, semua bidang batas pertemuan batuan ultrabasa dan batu gamping itu membentuk permukaan yang licin mengilat, menandakan telah terjadi penggerusan hebat di masa lalu. ”Di depan mata tergambar bagian yang sangat penting dalam sejarah pembentukan Bumi, zona tempat pertumbukan antarlempeng benua, sebuah bukti upduction.”

Fenomena upduction ini, menurut Hehanusa, merupakan kebalikan dari subduction di deretan Pulau Simeulue-Nias-Siberut-Enggano di barat Sumatera yang juga dipicu oleh pertemuan di antara dua lempeng. Terbentuknya Pulau Sulawesi berkontribusi besar terhadap perkembangan teori pergerakan lempeng yang menjadi dasar untuk memahami terjadinya gempa bumi dan tsunami.

Bagi geolog Imran Umar, jejak kedahsyatan gejolak geologi Sulawesi pada masa lalu itu juga bisa dilihat dari tiang-tiang karst yang berderet di sepanjang Maros, Pangkep, hingga Toraja. Guru besar geologi Universitas Hasanuddin ini telah puluhan tahun meneliti karst di Sulawesi Selatan.

”Kars di Sulawesi Selatan membuktikan bahwa kawasan ini dulu pernah berada di tepian Paparan Sunda,” kata Imran. Di kawasan ini terdapat batuan karbonat yang dikenal sebagai formasi Tonasa di selatan dan formasi Makale di Toraja (utara). ”Dua batuan kapur ini terbentuk pada paparan yang dikelilingi oleh laut dalam.

Formasi kapur ini terbentuk pada periode Eosen sampai Miosen awal, sekitar 56-18 juta tahun lalu. Pada periode ini, Lempeng Australia mulai menumbuk tepian paparan Sunda dari arah tenggara. Di lain sisi, di Selat Makassar mulai terjadi bukaan kerak Bumi.
”Tumbukan lempeng ini mengakibatkan munculnya banyak retakan penyesaran di batuan karbonat. Di situlah mulai terbentuknya karstifikasi, munculnya goa-goa, seperti di Maros dan Pangkep,” kata Imran.

Karst Maros-Pangkep adalah kekayaan alam tak ternilai. Tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga ilmu pengetahuan. Paling tidak, menurut Imran, ada tiga disiplin ilmu yang bisa dipelajari dari rangkaian karst itu, yaitu geologi, biologi, dan arkeologi.

”Kalau karst ini hilang, kita kehilangan salah satu bukti sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi,” katanya.

Tak hanya menandai pergolakan geologi Sulawesi, batuan kapur ini, menurut Imran, juga menandai periode naik-turunnya permukaan air laut pada masa lalu. ”Di Tanjung Birah dan Leang Leang terdapat paleobeach atau pantai purba. Di sana ada tebing yang terabrasi laut yang membuktikan bahwa pada masa lalu kawasan itu pernah berada di tepi pantai. Sekitar 30.000 tahun lalu, air laut di kawasan Asia Tenggara pernah naik hingga 65 meter dibandingkan permukaan sekarang,” kata Imran.

Di goa-goa ini juga banyak ditemukan sampah dapur manusia purba berupa cangkang kerang yang membuktikan kawasan ini dulu berada tak jauh dari laut. Dalam penelitian yang dilakukan Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ditemukan umur kerang sekitar 9.000-30.000 tahun lalu.

Jejak tapak tangan berwarna dan aneka lukisan berwarna merah oker di langit-langit goa menguatkan jejak keberadaan manusia purba. Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin, mengatakan, karst Maros-Pangkep menyimpan goa atau ceruk yang merupakan situs zaman mesolitik (5.000 tahun sebelum Masehi) dan zaman neolitik (3.000 tahun sebelum Masehi). Di Goa Leang Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, dan Goa Sakapao di Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, misalnya, ditemukan artefak batu, sampah dapur, dan lukisan dinding goa berupa telapak tangan dan babirusa.

Goa pada zaman mesolitik digunakan manusia sebagai tempat singgah. Pada zaman neolitik, goa digunakan untuk tempat tinggal dalam waktu yang lebih lama. Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, terdapat 16 situs goa prasejarah di Kabupaten Maros dan 17 situs goa prasejarah di Kabupaten Pangkep.

Selain menyimpan jejak geologi dan arkeologi, susunan karst di Maros-Pangkep ini juga merupakan habitat flora-fauna yang khas. Amran Achmad, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, menyebutkan, di wilayah karst Maros-Pangkep terdapat tak kurang dari 284 jenis tumbuhan berkayu, sebagian di antaranya adalah endemis.

Fauna khas terutama adalah kupu-kupu, seperti Papilio blumei, P polites, P satapses, Troides haliphron, dan beberapa jenis lain. Selain itu, juga terdapat monyet dare (Macaca maura). Bahkan, Wallace menjuluki Bantimurung sebagai kerajaan kupu-kupu. Ia sangat takjub tatkala menyaksikan ribuan kupu-kupu yang terbang membentuk awan dan memendarkan cahaya keputihan saat kawanan itu singgah di tepi Sungai Bantimurung, Maros.

Wallace mencatat sedikitnya 300 spesies kupu-kupu hidup di dalam kawasan yang kini bernama Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB), sekitar 40 kilometer arah utara Kota Makassar. Wilayah TNBB, yang umumnya berupa perbukitan kapur (karst), kaya akan sumber mata air dan hampir berkondisi lembab sepanjang waktu.

”Kupu-kupu menyenangi tempat basah. Itulah mengapa tak hanya kupu-kupu endemis yang hidup di Bantimurung, tetapi juga yang berasal dari Papua dan Pulau Seram (Maluku),” kata Rusman Muliady, staf Balai TNBB.

Saat ini, perbedaan satwa Sulawesi dan pulau sekitarnya bisa dijelaskan dengan posisi pulau ini yang telah lama terpencil di kepulauan Nusantara. Dari rekam jejak pembentukannya, Sulawesi telah terisolasi oleh lautan dengan pulau-pulau lain sejak tidak kurang dari 10 juta tahun lalu.

Beberapa binatang yang terjebak dan hidup di sana kemudian mengembangkan diri sesuai kondisi alam dan keterasingan ini. Tak hanya beradaptasi, sebagian binatang juga mendapatkan keuntungan dari kondisi alam ini.

Maleo, misalnya, memanfaatkan ladang geotermal untuk menetaskan telurnya. Karena tidak mengerami telurnya, maleo selalu mencari ladang geotermal untuk menghangatkan telurnya.

Demikian halnya babirusa yang memanfaatkan air kaya mineral di adudu. Dalam penelitian yang dilakukan Lynn Clayton (1996) ditemukan, babirusa membutuhkan air garam adudu untuk melindungi pencernaan mereka agar tidak menjadi terlalu asam sekaligus perlindungan dari racun biji buah pangi, makanan utama binatang ini. Analisis geokimia terhadap tanah dan air di adudu menunjukkan, kandungan sodiumnya 36 kali lipat dibandingkan dengan air biasa.

0 komentar:

Post a Comment