Warga mengamati salah satu goresan di "Batu Tulis", berupa gambar orang sedang memegang semacam parang. (Dokumentasi MARI) |
Setidaknya sejak tiga puluh tahun silam, warga mengetahui sepasang
batu berdiri tegak di punggungan Gunung Pojoktiga pada ketinggian 1.300
meter, yang terletak di wilayah Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Menhir (batu tegak) ini oleh warga sekitar dikenal dengan nama sebutan
"Batu Tulis" lantaran terdapat goresan-goresan di permukaannya yang
sekarang ini mulai ditumbuhi lumut.
Bersama seorang dosen Geografi Universitas Indonesia, Taqyuddin,
Masyarakat Arkeologi Indonesia (MARI) tergerak untuk melakukan
peninjauan dan penelitian pada awal Februari lalu.
Ketua Umum MARI yang sekaligus ahli arkeologi dari Fakultas Ilmu
Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Ali Akbar, melaporkan bahwa
penelitian terhadap "Batu Tulis" mendesak untuk dilakukan. Batu-batu itu
terletak di alam terbuka sehingga kondisi batu sangat rentan karena
kena terpaan hujan dan angin. Apalagi lokasi tersebut juga rawan
longsor.
Titik lokasi "Batu Tulis" tepatnya di Desa Jabranti, yang kurang
lebih satu jam perjalanan dari kota Kuningan. Kemudian dari Desa
Jabranti menuju dusun terdekat di kaki pegunungan yakni Dusun Banjaran,
masih menempuh jalan setapak dengan berjalan kaki selama sekitar 30
menit.
"Dari sana, dilanjutkan dengan trekking mendaki gunung 3-4
jam untuk mencapai batu ini, jadi lokasinya berada di batas dua
kabupaten, Brebes dan Cilacap," ungkap Ali Akbar yang ditemui di FIB-UI,
Depok (12/2).
Dua buah batu tegak (menhir) yang kerap disebut warga setempat sebagai "Batu Tulis" karena terdapat aneka ukiran berbentuk hewan dan antropomorfik, yaitu pemanusiaan atau atribusi pada bentuk/karakter manusia (Dokumentasi MARI) |
Berdasarkan konfirmasi ke Balai Arkeologi, baik Balar Jawa Barat
maupun Jawa Tengah, temuan ini belum terdata. Memang sudah lama
masyarakat setempat tahu tentang batu, tapi itu pun hanya segelintir.
"Yang tahu juga tidak terlalu peduli, karena jalur ini jarang
dilintasi, aksesnya sulit. Beberapa penduduk hanya masuk hutan ketika
mencari kayu, hasil hutan, atau berburu. Maka tidak pernah berlanjut
dengan penelitian sebelumnya," Ali menerangkan.
Ukuran "Batu Tulis" adalah setinggi 160 cm, dengan lebar 80 cm, dan
lingkaran terlebar 180 cm. Jarak dua batu adalah 153 cm dan tersusun
dalam posisi tegak saling berhadapan.
Hewan dan manusia
Hewan dan manusia
Uniknya, keberadaan "Batu Tulis" menyentuh dua babak masa dalam
purbakala. Batu berarti peninggalan tradisi Megalitikum (batu besar)
pada masa prasejarah, dan gambarnya menunjukkan relief pada masa sejarah
klasik.
Melihat gambar-gambarnya, ditengarai relief ini merupakan suatu
kisah. Ali menduga, batu telah ada sejak zaman prasejarah, lantas
dipakai kembali manusia untuk menggambarkan kisah saat beralih ke zaman
sejarah.
Sementara ini pada pahatan di atas ketiga sisi atau bidang batu,
dikenali beberapa bentuk/motif berupa hewan dan antropomorfik
(pemanusiaan atau atribusi pada bentuk/karakter manusia). Antara lain
ular naga, lengkap dengan kepala tubuh, sisik, ekor; moncong menyerupai
buaya; kepala burung; belalai gajah; serta manusia dengan
profil menyamping dan sedang memegang senjata semacam parang.
Selain bentuk-bentuk tersebut, terdapat juga beberapa goresan berupa
bentuk geometris yang masih sulit dikenali. "Penelitian yang lebih
intensif diperlukan," pungkas Ali. Ia mengatakan, MARI berencana
penelitian selanjutnya akan membaca dan menafsirkan setiap guratan
gambar ini.