Fosil tahi hiu yang ditemukan di Brasil mengandung telur cacing pita kuno. |
Cacing pita diduga telah menjadi parasit bagi hewan lebih lama dari
dugaan. Ilmuwan menemukan telur cacing pita di tinja hiu yang telah
berusia 270 juta tahun.
Fosil tinja hiu ditemukan di Brasil. Dari analisis sebuah coprolite atau fosil feses itu, ilmuwan mengungkap 93 telur cacing pita. Salah satu di antaranya kemungkinan memiliki larva yang sedang berkembang.
Telur cacing pita yang ditemukan memecahkan sebagai telur cacing pita tertua. Sebelumnya, telur cacing pita tertua berusia 140 juta tahun.
Ukuran telur cacing pita begitu mungil, hanya 150 mikron atau 1,5 kali diameter sehelai rambut manusia. Ilmuwan menemukan telur itu dengan membelah tinja hiu menjadi beberapa potongan sebelum menggeledahnya.
Proses penemuan telur cacing pita itu bukan hal yang mudah. Ada 500 tinja hiu yang ada di lokasi penemuan. Ilmuwan harus memilih salah satu untuk dipotong.
"Untungnya, di salah satu potongan itu kami menemukan telur. Telur hanya ditemukan di salah satu dari potongan," kata Paula Dentzien-Dias, paleontolog Federal University of Rio Grande di Brasil yang memimpin studi ini, seperti dikutip Livescience, Kamis (31/1/2013).
Melimpahnya tinja hiu di lokasi penemuan membuat ilmuwan menduga bahwa lokasi tersebut sebelumnya merupakan wilayah perairan. Di kemudian hari, perairan itu mengering.
Bersama penemuan fosil tinja dan telur cacing pita kuno, ilmuwan juga menemukan mineral pyrite. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan penemuan fosil itu miskin oksigen. Lingkungan ini membantu mengawetkan fosil.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal PLoS ONE pada Rabu (30/1/2013).
Fosil tinja hiu ditemukan di Brasil. Dari analisis sebuah coprolite atau fosil feses itu, ilmuwan mengungkap 93 telur cacing pita. Salah satu di antaranya kemungkinan memiliki larva yang sedang berkembang.
Telur cacing pita yang ditemukan memecahkan sebagai telur cacing pita tertua. Sebelumnya, telur cacing pita tertua berusia 140 juta tahun.
Ukuran telur cacing pita begitu mungil, hanya 150 mikron atau 1,5 kali diameter sehelai rambut manusia. Ilmuwan menemukan telur itu dengan membelah tinja hiu menjadi beberapa potongan sebelum menggeledahnya.
Proses penemuan telur cacing pita itu bukan hal yang mudah. Ada 500 tinja hiu yang ada di lokasi penemuan. Ilmuwan harus memilih salah satu untuk dipotong.
"Untungnya, di salah satu potongan itu kami menemukan telur. Telur hanya ditemukan di salah satu dari potongan," kata Paula Dentzien-Dias, paleontolog Federal University of Rio Grande di Brasil yang memimpin studi ini, seperti dikutip Livescience, Kamis (31/1/2013).
Melimpahnya tinja hiu di lokasi penemuan membuat ilmuwan menduga bahwa lokasi tersebut sebelumnya merupakan wilayah perairan. Di kemudian hari, perairan itu mengering.
Bersama penemuan fosil tinja dan telur cacing pita kuno, ilmuwan juga menemukan mineral pyrite. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan penemuan fosil itu miskin oksigen. Lingkungan ini membantu mengawetkan fosil.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal PLoS ONE pada Rabu (30/1/2013).