Home » » Kisah Priyayi Makassar Dalam Legiun Prancis Abad Ke-17

Kisah Priyayi Makassar Dalam Legiun Prancis Abad Ke-17

Patung Louis XIV.

Kisah ini bermula dari sebuah drama di perkampungan Makassar di Ayuthia, Negeri Siam—kini Thailand—pada akhir abad ke-17. Seorang pangeran Makassar, bernama Daeng Mangalle, telah dituduh terlibat dalam persekongkolan muslim yang berencana membunuh Raja Siam.

Akhirnya, tuduhan yang belum terbukti itu telah berujung pada tewasnya Daeng Mangalle dan orang-orang Makassar dalam suatu penyerbuan militer atas perintah Sang Raja. Lelaki ningrat asal Makassar itu meninggalkan dua orang anak berusia belasan tahun. Namanya, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo. 

Mungkin karena iba, kantor perwakilan dagang Prancis di Siam memberi kesempatan kedua pangeran malang itu untuk belajar ke Prancis dari. Pada masa itu pendidikan militer untuk anak lelaki telah menjadi tradisi kebanggan kerajaan-kerajaan Nusantara.

Saat itu pelayaran ke Eropa sungguhlah lama. Keduanya berlayar dengan kapal Coche menuju Eropa pada akhir November 1686, dan baru berjejak di Prancis pada September 1687. Setelah dibaptis, mereka mendapatkan nama kehormatan—bak Raja Prancis. Daeng Ruru bergelar Louis Pierre Makassar, sementara saudaranya Daeng Tulolo mendapat gelar Louis Dauphin Makassar.

Sebagai anak dari tanah seberang benua dan samudra, keduanya mendapat pengajaran bahasa Prancis di kolose jesuit Louis le-Grand. Lembaga sekolah yang didirikan akhir abad ke-16 tersebut, hingga kini masih mengajarkan nilai tradisi Prancis dan mempertahankan tradisi keterbukaan terhadap dunia luar. Setidaknya sepersepuluh dari siswanya selalu berasal dari penjuru dunia. 

Setelah lulus dari kolose jesuit itu mereka diterima di sekolah tinggi Clermont yang bergengsi. Kemudian, keduanya mendapat rekomendasi dari Louis XIV untuk melanjutkan ke sekolah perwira angkatan laut yang pada sohor sebagai perintis sekolah marinir di Prancis. Salah satu syarat untuk diterima menjadi kadet adalah si calon harus berusia di bawah 18 tahun dan berasal dari keluarga ningrat.

Karir marinir Daeng Ruru meroket. Dia lulus tercepat dengan menempuh sekolah selama dua tahun. Pangkatnya letnan muda pada usia 19 tahun—setara letnan di angkatan darat. Setahun kemudian dianugerahi pangkat letnan angkatan laut.

Bantuan keuangan sungguh diperlukan, lantaran Ruru tak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga uang. Tak seperti kakaknya yang berkarir melejit, Daeng Tulolo harus menanti 13 tahun lamanya untuk mendapatkan pangkat letnan muda.

Masa-masa keemasan kedua ningrat itu kian mendekati akhir. Pada 1707, Daeng Ruru bertugas di sebuah kapal yang menyergap kapal-kapal militer Belanda dan membantu armada Spanyol untuk memerangi Inggris di Havana. Ironisnya, Pada 19 Mei 1708 Daeng Ruru tewas karena perkara yang tidak jelas. 

Sementara itu, Daeng Tulolo yang karirnya mentok berpangkat letnan muda, melanjutkan dinasnya di sebuah kapal India. Dia wafat 30 November 1736. Beberapa kolega angkatan laut menghadiri penghormatan terakhir kepada Sang Louis Dauphin Makassar. Suatu kehormatan, keturunan raja-raja Makassar itu dimakamkan di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut Prancis.

Demikianlah kisah dua bangsawan asal Tanah Daeng yang mengembara hingga ke Prancis. Tampaknya hubungan antara orang Prancis dan orang Indonesia sudah terjalin sejak ratusan tahun silam.

Sumber : National Geographic