Bahasa juga tergantung penuturnya (ilustrasi) |
Di Indonesia terdapat 726 bahasa, dan 719 di antaranya adalah bahasa
yang masih hidup. Namun dari 719 bahasa yang masih hidup, ternyata tidak
semuanya berada dalam kondisi sehat, karena hanya ditutur oleh 1.000
sampai 5.000 orang.
Ketakutan akan kepunahan bahasa-bahasa minoritas sangat penting untuk dikaji. Sebab, sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945, Bab XIII Pasal 32 Ayat 2, disebutkan bahwa "negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional."
Adanya UUD '45 tersebut, mengharuskan kita sebagai warga negara untuk mempertahankan bahasa minoritas sebagai bahasa daerah. Kepunahan bahasa bukan hanya sekedar hilangnya alat komunikasi, tapi juganya nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal yang terkandung dalam bahasa.
Menurut Koordinator Penelitian Bahasa, dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdul Rachman Patji, saat ini pihaknya fokus melakukan penelitian pada bahasa Non Austronesia atau Non Melayu yang diidentifikasikan sebagai bagian dari rumpun bahasa Trans New Guinea yang kondisinya rawan terhadap kepunahan dan harus cepat didokumentasikan.
"Saat ini kami sedang meneliti enam bahasa yang terdiri dari bahasa Gamkonora dari Halmahera Barat, bahasa Kao dan Pagu dari Halmahera Utara, bahasa Oirata dari Pulai Kisar, serta bahasa Kui dan Kafoa (Habollat) di Alor Barat Daya," kata Abdul Rachman Patji, saat ditemui diacara Diseminasi Hasil Penelitian Pengembangan dan Perlindungan Kekayaan Budaya, Kebahasaan dan Kebudayaan Etnik Minoritas, LIPI, Jakarta, 12 Desember 2012.
Ia menambahkan, selain melakukan penelitian pihaknya juga melakukan aksi. "Saat ini kami sudah mengumpulkan 500 kosakata dari 6 bahasa yang diteliti. Penelitian ini akan berlangsung sampai tahun 2014, dan setelah selesai kami akan membuat sebuah kamus bahasa."
Pendokumentasian bahasa dalam bentuk kamus merupakan salah satu cara untuk membantu pemerintah dalam melakukan pelestarian dengan menyebarkan kamus-kamus ke sekolah yang dijadikan sebagai pelajaran muatan lokal.
Dengan begitu kebanggaan menggunakan bahasa daerah dapat segera tumbuh, dan ini sangat berpengaruh dalam pelestarian bahasa daerah. Selain itu, upaya mempertahankan bahasa dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh politik (di sekolah, dengan catatan harus dikemas sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik keberagaman etnik dalam satu wilayah minoritas).
"Di akhir penelitian di tahun 2014 nanti, kami berharap sudah memiliki strategi pemertahanan bahasa dan kebudayaan daerah. Dari strategi ini akan menghasilkan pola-pola penelitian yang bisa diterapkan di daerah-daerah lain dalam hal penyelamatan bahasa," ujar Abdul Rachman Patji.
Ketakutan akan kepunahan bahasa-bahasa minoritas sangat penting untuk dikaji. Sebab, sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945, Bab XIII Pasal 32 Ayat 2, disebutkan bahwa "negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional."
Adanya UUD '45 tersebut, mengharuskan kita sebagai warga negara untuk mempertahankan bahasa minoritas sebagai bahasa daerah. Kepunahan bahasa bukan hanya sekedar hilangnya alat komunikasi, tapi juganya nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal yang terkandung dalam bahasa.
Menurut Koordinator Penelitian Bahasa, dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdul Rachman Patji, saat ini pihaknya fokus melakukan penelitian pada bahasa Non Austronesia atau Non Melayu yang diidentifikasikan sebagai bagian dari rumpun bahasa Trans New Guinea yang kondisinya rawan terhadap kepunahan dan harus cepat didokumentasikan.
"Saat ini kami sedang meneliti enam bahasa yang terdiri dari bahasa Gamkonora dari Halmahera Barat, bahasa Kao dan Pagu dari Halmahera Utara, bahasa Oirata dari Pulai Kisar, serta bahasa Kui dan Kafoa (Habollat) di Alor Barat Daya," kata Abdul Rachman Patji, saat ditemui diacara Diseminasi Hasil Penelitian Pengembangan dan Perlindungan Kekayaan Budaya, Kebahasaan dan Kebudayaan Etnik Minoritas, LIPI, Jakarta, 12 Desember 2012.
Ia menambahkan, selain melakukan penelitian pihaknya juga melakukan aksi. "Saat ini kami sudah mengumpulkan 500 kosakata dari 6 bahasa yang diteliti. Penelitian ini akan berlangsung sampai tahun 2014, dan setelah selesai kami akan membuat sebuah kamus bahasa."
Pendokumentasian bahasa dalam bentuk kamus merupakan salah satu cara untuk membantu pemerintah dalam melakukan pelestarian dengan menyebarkan kamus-kamus ke sekolah yang dijadikan sebagai pelajaran muatan lokal.
Dengan begitu kebanggaan menggunakan bahasa daerah dapat segera tumbuh, dan ini sangat berpengaruh dalam pelestarian bahasa daerah. Selain itu, upaya mempertahankan bahasa dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh politik (di sekolah, dengan catatan harus dikemas sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik keberagaman etnik dalam satu wilayah minoritas).
"Di akhir penelitian di tahun 2014 nanti, kami berharap sudah memiliki strategi pemertahanan bahasa dan kebudayaan daerah. Dari strategi ini akan menghasilkan pola-pola penelitian yang bisa diterapkan di daerah-daerah lain dalam hal penyelamatan bahasa," ujar Abdul Rachman Patji.
Sumber: Viva.co.id