Ilustarsi |
Isu kiamat 2012 juga menjadi pengamatan peneliti kosmologi Indonesia
dari Jurusan Astronomi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Premana W.
Premadi. Dalam artikel Kompas, 3 Januari 2010, perempuan yang akrab
disapa Nana itu menguraikan pandangannya tentang isu tersebut, makna
kehidupan serta intelektualitas dan spiritualitas. Berikut artikel yang
ditulis oleh wartawan Kompas, Maria Hartiningsih dan Dahono Fitrianto
Benarkan Bumi akan kiamat pada 21/12/2012? Bagaimana menanggapi ramalan bangsa Maya kuno itu? Di mana letak Bumi di dalam alam semesta? Bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta?
Dr Premana Wardayanti Premadi (45) adalah sosok yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu. Meski demikian, pengajar pada Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan peneliti di bidang kosmologi, teori, dan komputasi itu menolak disebut sebagai orang yang paling otoritatif dalam menjelaskan hal itu.
”Saya masih terus belajar, kita semua masih terus belajar,” tutur Nana, begitu ia disapa, dengan suara pelan karena pita suaranya sedang bermasalah.
Ia ditemui pada suatu siang, hampir dua pekan lalu, di kantornya di Kompleks Ganesha, ITB, Bandung.
Tidak konvergen
Beberapa tahun terakhir, terutama setelah pemutaran film 2012 beberapa bulan lalu, ramalan tentang ”kiamat” tanggal 21/12/2012 menyebar, memunculkan berbagai prediksi, mulai dari yang mengklaim ”ilmiah” sampai spiritualisme mistik.
Bagaimana Anda menanggapi ramalan 21/12/2012 yang diyakini sebagai akhir kalender Maya?
Awal dan akhir satu masa dalam suatu sistem kalender adalah hal lumrah. Umumnya, orang memanfaatkan hitungan berdasarkan siklus yang tampak pada keteraturan pemunculan obyek langit. Tanggal 21/12/2012 itu winter solstice, hari di mana Matahari mencapai titik paling selatan pada garis edar semu tahunannya (sebagaimana tampak di Bumi); musim dingin (winter) di belahan bumi utara. Setelah itu Matahari kembali menuju utara.
Kebetulan hari itu bertepatan dengan akhir satu masa hitungan (b’a’ktun ke-13) yang akan dilanjutkan dengan b’a’ktun ke-14 sampai dengan ke-20 untuk mengikuti hitungan panjang (long count) dalam sistem kalender Maya.
Namun, ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan tanggal istimewa ini untuk menakut-nakuti masyarakat dengan menambahkan berita hoax (menipu) akan adanya berbagai bencana dan menjadikannya seolah-olah sebagai akhir zaman.
Misalnya, mereka menyebut adanya Planet Nibiru dan lain-lain yang akan menumbuk Bumi pada saat itu. Nibiru adalah obyek langit yang disebut dalam catatan bangsa Sumeria. Dari sini sudah mulai kelihatan ketidakkonvergenan cerita (Sumeria dan Maya). Selain itu, jika ada obyek besar akan menumbuk Bumi pada tahun 2012, mestinya sekarang sudah dapat dilihat dengan mata. Nyatanya, tidak ditemukan obyek demikian.
Ada beberapa hal lain yang mereka sebut juga, seperti konfigurasi beberapa planet yang segaris pada saat itu yang akan menyebabkan gangguan gravitasi di Bumi. Pertama, tidak akan ada konfigurasi segaris dalam beberapa puluh tahun ke depan. Kedua, jika pun ada, pengaruh gravitasinya pada Bumi praktis tidak ada karena jarak antarplanet demikian jauh dan konfigurasi segaris terjadi hanya sesaat.
Apa pembelajaran dari ini semua?
Tampaknya sekarang semakin marak ide menggabung-gabungkan sedikit sains dan sedikit mitologi praktis serta banyak bumbu untuk menjadi cerita yang terkesan dapat dipercaya. Dengan internet, cerita seperti ini dengan cepat menyebar. Yang harus diingat adalah sains bekerja atas fakta (hasil observasi alam dan/atau hasil eksperimen). Tidak ada bukti yang mendukung akan ada sesuatu yang katastrofe pada 21/12/2012.
Apa pendapat Anda tentang kalender Maya yang konon cukup akurat dengan menggunakan konfigurasi bintang?
Kalender Maya sangat kompleks dan asal muasal penghitungannya belum dipahami benar. Ada siklus 260 hari yang tampaknya berasal dari gabungan siklus 13 dan 20 hari, dua angka yang tampak penting untuk bangsa Maya. Ada banyak interpretasi tentang 260 hari itu, di antaranya jumlah hari antara menstruasi terakhir dan saat kelahiran bayi (untuk para bidan mengantisipasi kelahiran).
Mereka menggunakan pengamatan Matahari, Bulan, dan Venus yang masing-masing berasosiasi dengan dewa dan kepentingan tertentu yang relevan dengan kehidupan di Bumi. Oleh karena itu, ada upacara-upacara yang bersesuaian untuk kemunculan Matahari, Bulan, atau Venus. Namun, saya tak yakin mereka menggunakan lebih banyak obyek langit (bintang dan sebagainya).
Keterhubungan
Dengan diksi terpilih dan amat santun, Nana menengarai banyak pemahaman yang sebenarnya kurang pas mengenai hubungan semua peristiwa di Bumi, menyangkut manusia—dalam keterkaitannya dengan manusia lain, alam, lingkungan alam, dan segenap isinya—dengan alam semesta.
Dari perspektif sains, apakah semua yang ada di alam semesta ini lahir dari kekosongan?
Saya lebih suka ”ketiadaan” daripada kekosongan karena pada awal tiada apa-apa; ruang dan waktu tiada, jadi tidak bermakna kosong (seolah ada ruang, tetapi kosong). Bintang lebih cepat terbentuk dibandingkan galaksi, tetapi selama galaksi terbentuk bintang baru terus lahir. Selagi bintang baru terbentuk, ada yang juga membangun sistem planet. Dalam hal tata surya, lama setelah Matahari terbentuk, kemudian planet-planet (termasuk Bumi), baru kemudian kehidupan di Bumi.
Perlu dipahami, gambaran cerita evolusi adalah gambaran mosaik empiris dari fakta pengalaman dan kalkulasi waktu yang dibutuhkan untuk proses-proses yang diperlukan. Jadi, kita belum punya cerita utuh dan validitasnya terus-menerus diuji.
Dengan pergulatan intelektual yang intens dalam sains, bagaimana Anda memaknai kehidupan?
Kehidupan dalam artian fisis merupakan sesuatu yang sangat istimewa dalam alam semesta. Kehidupan seperti yang kita miliki, yang memerlukan kondisi sangat spesifik, memerlukan pemenuhan kebutuhan kimiawi yang sangat spesifik, ternyata memerlukan waktu persiapan yang sangat panjang dan tidak semua planet dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Dalam mempelajari alam semesta yang sesungguhnya dicoba untuk dipahami adalah sejarah alam semesta dalam skala besar (keseluruhan alam semesta) maupun dalam skala kecil (sejarah pembentukan galaksi, bintang, dan sistem keplanetan, termasuk lingkungan biota).
Ini semua menggunakan fakta yang kita temukan dalam alam semesta dan dianalisis dengan menggunakan kaidah-kaidah fisika dan matematika yang kita tahu bekerja dengan baik dalam skala atau domain yang kita kenal. Dari hasil analisis ini, kita mencoba merangkai cerita yang logis tentang sejarah alam semesta dan sejarah fisis kehidupan serta mencoba memprediksi.
Melampaui fakta
Sejak tahun 2005, Nana aktif dalam Bandung Community of Science and Religion. Komunitas itu menjembatani dialog sehat antara sains dan agama guna menempatkan duduk soal agar tak lagi terjadi kesalahpahaman di antara keduanya.
Semula kegiatan itu didanai forum dialog agama-sains internasional, The Metanexus Institute, untuk tiga tahun. ”Saya senang karena setelah dana habis, komunitas ini terus berjalan,” ujar Nana.
”Teman-teman tetap berkumpul. Kami mengumpulkan uang untuk membeli DVD tentang filsafat sains, agama dan sains, dan lain-lain. Yang penting kita dengarkan dulu penjelasannya, pelajari dulu, sebelum berdebat enggak keruan. Di situ kami sama- sama belajar.”
Bagaimana Anda menghubungkan intelektualitas dan spiritualitas?
Pengetahuan yang baik tentang alam semesta akan memberikan gambaran atau peta tentang eksistensi fisis kita dalam alam semesta ini. Menurut saya, ini merupakan bantuan besar dalam memberi pijakan yang mapan untuk dapat melompat ke domain yang bersifat transendental.
Spiritual tidak harus berarti religius, tetapi suatu proses kejiwaan yang secara sadar mengontemplasi kehidupan ini melampaui domain fisis; melampaui fakta-fakta yang dapat diamati. Menurut saya, realitas itu jauh lebih luas daripada yang dapat kita akses dan intelektualitas kita dapat didorong untuk membangun terkaan yang cerdas tentang apa yang tak dapat kita akses. Berkeyakinan dengan nalar....
Meski demikian, saya ingin menegaskan, sains tak pernah mengklaim memiliki gambaran sepenuhnya tentang alam (termasuk kehidupan) dan tak dapat menawarkan jawaban bagi semua masalah di Bumi.
Namun, sains adalah agen yang layak diperhatikan suaranya ketika kita mencari suatu ukuran walau sangat terbatas tentang kebenaran alam karena dalam proses kerjanya, sains meminimalkan unsur subyektif manusiawi sedemikian rupa sehingga kesimpulan saintifik diharapkan berlaku universal. Gapaian pikiran (intelektual) dan jiwa manusia jauh melampaui domain kerja sains.
Benarkan Bumi akan kiamat pada 21/12/2012? Bagaimana menanggapi ramalan bangsa Maya kuno itu? Di mana letak Bumi di dalam alam semesta? Bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta?
Dr Premana Wardayanti Premadi (45) adalah sosok yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu. Meski demikian, pengajar pada Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan peneliti di bidang kosmologi, teori, dan komputasi itu menolak disebut sebagai orang yang paling otoritatif dalam menjelaskan hal itu.
”Saya masih terus belajar, kita semua masih terus belajar,” tutur Nana, begitu ia disapa, dengan suara pelan karena pita suaranya sedang bermasalah.
Ia ditemui pada suatu siang, hampir dua pekan lalu, di kantornya di Kompleks Ganesha, ITB, Bandung.
Tidak konvergen
Beberapa tahun terakhir, terutama setelah pemutaran film 2012 beberapa bulan lalu, ramalan tentang ”kiamat” tanggal 21/12/2012 menyebar, memunculkan berbagai prediksi, mulai dari yang mengklaim ”ilmiah” sampai spiritualisme mistik.
Bagaimana Anda menanggapi ramalan 21/12/2012 yang diyakini sebagai akhir kalender Maya?
Awal dan akhir satu masa dalam suatu sistem kalender adalah hal lumrah. Umumnya, orang memanfaatkan hitungan berdasarkan siklus yang tampak pada keteraturan pemunculan obyek langit. Tanggal 21/12/2012 itu winter solstice, hari di mana Matahari mencapai titik paling selatan pada garis edar semu tahunannya (sebagaimana tampak di Bumi); musim dingin (winter) di belahan bumi utara. Setelah itu Matahari kembali menuju utara.
Kebetulan hari itu bertepatan dengan akhir satu masa hitungan (b’a’ktun ke-13) yang akan dilanjutkan dengan b’a’ktun ke-14 sampai dengan ke-20 untuk mengikuti hitungan panjang (long count) dalam sistem kalender Maya.
Namun, ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan tanggal istimewa ini untuk menakut-nakuti masyarakat dengan menambahkan berita hoax (menipu) akan adanya berbagai bencana dan menjadikannya seolah-olah sebagai akhir zaman.
Misalnya, mereka menyebut adanya Planet Nibiru dan lain-lain yang akan menumbuk Bumi pada saat itu. Nibiru adalah obyek langit yang disebut dalam catatan bangsa Sumeria. Dari sini sudah mulai kelihatan ketidakkonvergenan cerita (Sumeria dan Maya). Selain itu, jika ada obyek besar akan menumbuk Bumi pada tahun 2012, mestinya sekarang sudah dapat dilihat dengan mata. Nyatanya, tidak ditemukan obyek demikian.
Ada beberapa hal lain yang mereka sebut juga, seperti konfigurasi beberapa planet yang segaris pada saat itu yang akan menyebabkan gangguan gravitasi di Bumi. Pertama, tidak akan ada konfigurasi segaris dalam beberapa puluh tahun ke depan. Kedua, jika pun ada, pengaruh gravitasinya pada Bumi praktis tidak ada karena jarak antarplanet demikian jauh dan konfigurasi segaris terjadi hanya sesaat.
Apa pembelajaran dari ini semua?
Tampaknya sekarang semakin marak ide menggabung-gabungkan sedikit sains dan sedikit mitologi praktis serta banyak bumbu untuk menjadi cerita yang terkesan dapat dipercaya. Dengan internet, cerita seperti ini dengan cepat menyebar. Yang harus diingat adalah sains bekerja atas fakta (hasil observasi alam dan/atau hasil eksperimen). Tidak ada bukti yang mendukung akan ada sesuatu yang katastrofe pada 21/12/2012.
Apa pendapat Anda tentang kalender Maya yang konon cukup akurat dengan menggunakan konfigurasi bintang?
Kalender Maya sangat kompleks dan asal muasal penghitungannya belum dipahami benar. Ada siklus 260 hari yang tampaknya berasal dari gabungan siklus 13 dan 20 hari, dua angka yang tampak penting untuk bangsa Maya. Ada banyak interpretasi tentang 260 hari itu, di antaranya jumlah hari antara menstruasi terakhir dan saat kelahiran bayi (untuk para bidan mengantisipasi kelahiran).
Mereka menggunakan pengamatan Matahari, Bulan, dan Venus yang masing-masing berasosiasi dengan dewa dan kepentingan tertentu yang relevan dengan kehidupan di Bumi. Oleh karena itu, ada upacara-upacara yang bersesuaian untuk kemunculan Matahari, Bulan, atau Venus. Namun, saya tak yakin mereka menggunakan lebih banyak obyek langit (bintang dan sebagainya).
Keterhubungan
Dengan diksi terpilih dan amat santun, Nana menengarai banyak pemahaman yang sebenarnya kurang pas mengenai hubungan semua peristiwa di Bumi, menyangkut manusia—dalam keterkaitannya dengan manusia lain, alam, lingkungan alam, dan segenap isinya—dengan alam semesta.
Dari perspektif sains, apakah semua yang ada di alam semesta ini lahir dari kekosongan?
Saya lebih suka ”ketiadaan” daripada kekosongan karena pada awal tiada apa-apa; ruang dan waktu tiada, jadi tidak bermakna kosong (seolah ada ruang, tetapi kosong). Bintang lebih cepat terbentuk dibandingkan galaksi, tetapi selama galaksi terbentuk bintang baru terus lahir. Selagi bintang baru terbentuk, ada yang juga membangun sistem planet. Dalam hal tata surya, lama setelah Matahari terbentuk, kemudian planet-planet (termasuk Bumi), baru kemudian kehidupan di Bumi.
Perlu dipahami, gambaran cerita evolusi adalah gambaran mosaik empiris dari fakta pengalaman dan kalkulasi waktu yang dibutuhkan untuk proses-proses yang diperlukan. Jadi, kita belum punya cerita utuh dan validitasnya terus-menerus diuji.
Dengan pergulatan intelektual yang intens dalam sains, bagaimana Anda memaknai kehidupan?
Kehidupan dalam artian fisis merupakan sesuatu yang sangat istimewa dalam alam semesta. Kehidupan seperti yang kita miliki, yang memerlukan kondisi sangat spesifik, memerlukan pemenuhan kebutuhan kimiawi yang sangat spesifik, ternyata memerlukan waktu persiapan yang sangat panjang dan tidak semua planet dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Dalam mempelajari alam semesta yang sesungguhnya dicoba untuk dipahami adalah sejarah alam semesta dalam skala besar (keseluruhan alam semesta) maupun dalam skala kecil (sejarah pembentukan galaksi, bintang, dan sistem keplanetan, termasuk lingkungan biota).
Ini semua menggunakan fakta yang kita temukan dalam alam semesta dan dianalisis dengan menggunakan kaidah-kaidah fisika dan matematika yang kita tahu bekerja dengan baik dalam skala atau domain yang kita kenal. Dari hasil analisis ini, kita mencoba merangkai cerita yang logis tentang sejarah alam semesta dan sejarah fisis kehidupan serta mencoba memprediksi.
Melampaui fakta
Sejak tahun 2005, Nana aktif dalam Bandung Community of Science and Religion. Komunitas itu menjembatani dialog sehat antara sains dan agama guna menempatkan duduk soal agar tak lagi terjadi kesalahpahaman di antara keduanya.
Semula kegiatan itu didanai forum dialog agama-sains internasional, The Metanexus Institute, untuk tiga tahun. ”Saya senang karena setelah dana habis, komunitas ini terus berjalan,” ujar Nana.
”Teman-teman tetap berkumpul. Kami mengumpulkan uang untuk membeli DVD tentang filsafat sains, agama dan sains, dan lain-lain. Yang penting kita dengarkan dulu penjelasannya, pelajari dulu, sebelum berdebat enggak keruan. Di situ kami sama- sama belajar.”
Bagaimana Anda menghubungkan intelektualitas dan spiritualitas?
Pengetahuan yang baik tentang alam semesta akan memberikan gambaran atau peta tentang eksistensi fisis kita dalam alam semesta ini. Menurut saya, ini merupakan bantuan besar dalam memberi pijakan yang mapan untuk dapat melompat ke domain yang bersifat transendental.
Spiritual tidak harus berarti religius, tetapi suatu proses kejiwaan yang secara sadar mengontemplasi kehidupan ini melampaui domain fisis; melampaui fakta-fakta yang dapat diamati. Menurut saya, realitas itu jauh lebih luas daripada yang dapat kita akses dan intelektualitas kita dapat didorong untuk membangun terkaan yang cerdas tentang apa yang tak dapat kita akses. Berkeyakinan dengan nalar....
Meski demikian, saya ingin menegaskan, sains tak pernah mengklaim memiliki gambaran sepenuhnya tentang alam (termasuk kehidupan) dan tak dapat menawarkan jawaban bagi semua masalah di Bumi.
Namun, sains adalah agen yang layak diperhatikan suaranya ketika kita mencari suatu ukuran walau sangat terbatas tentang kebenaran alam karena dalam proses kerjanya, sains meminimalkan unsur subyektif manusiawi sedemikian rupa sehingga kesimpulan saintifik diharapkan berlaku universal. Gapaian pikiran (intelektual) dan jiwa manusia jauh melampaui domain kerja sains.
Sumber: Kompas.com