Ilustrasi |
Sekitar 251 juta tahun lalu, lebih dari 90 persen spesies di Bumi
mendadak punah. Penyebab kematian itu bukanlah meteorit atau letusan
gunung berapi raksasa seperti teori sebelumnya.
Penelitian terbaru soal kiamat menunjukkan, penghuni Bumi pernah nyaris musnah oleh mikroba sederhana. Teori yang selama ini berlaku menyebutkan kepunahan massal dipicu oleh letusan gunung berapi di wilayah luas yang sekarang disebut Siberia. Bencana alam pada akhir periode Permian ini mendorong kenaikan emisi gas rumah kaca secara drastis sehingga membunuh makhluk hidup.
"Tapi skenario itu tidak cocok dengan fakta di lapangan," kata Daniel Rothman dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, Jumat, 14 Desember 2012.
Rothman menganalisis sampel sedimen tanah dari Cina. Usianya diperkirakan akhir periode Permian. Dari analisis diketahui kadar karbon Bumi kala itu melonjak tajam.
Menurutnya, kenaikan karbon ini terlalu drastis untuk proses geologi seperti letusan gunung berapi. "Mikroba dapat menghasilkan senyawa karbon secara cepat," ujar dia.
Simpulan itu diambil usai Rothman menganalisa genom Methanosarcina, sebuah metanogen yang bertanggung jawab untuk sebagian besar produksi gas metana biogenik di Bumi saat ini. Ia menemukan bahwa mikroba telah mampu menghasilkan metana sejak 231 juta tahun lalu. Inilah yang mengindikasikan mikroba sebagai penyebab kepunahan massal.
Apalagi, masih dari analisis sedimen, Rothman dan rekan-rekannya menemukan kadar nikel melonjak tajam persis 251 juta tahun lalu. Nikel diperkirakan berasal dari lava gunung berapi raksasa di Siberia. Nah, Methanosarcina menggunakan nikel dalam jumlah besar ini untuk menghasilkan metana secara cepat.
"Ini menunjukkan Methanosarcina memicu kepunahan massal," kata Rothman pada pertemuan American Geophysical Union di San Francisco.
Gagasan ini cukup meyakinkan bagi sebagian ahli geologi. Gagasan Rothman, yang menyatakan suatu makhluk hidup memicu kepunahan makhluk hidup lainnya, cukup menarik. "Mirip dengan kepunahan yang terjadi saat ini, sebagian sebagian besar didorong oleh manusia," kata Anthony Barnosky dari University of California, Berkeley.
Penelitian terbaru soal kiamat menunjukkan, penghuni Bumi pernah nyaris musnah oleh mikroba sederhana. Teori yang selama ini berlaku menyebutkan kepunahan massal dipicu oleh letusan gunung berapi di wilayah luas yang sekarang disebut Siberia. Bencana alam pada akhir periode Permian ini mendorong kenaikan emisi gas rumah kaca secara drastis sehingga membunuh makhluk hidup.
"Tapi skenario itu tidak cocok dengan fakta di lapangan," kata Daniel Rothman dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, Jumat, 14 Desember 2012.
Rothman menganalisis sampel sedimen tanah dari Cina. Usianya diperkirakan akhir periode Permian. Dari analisis diketahui kadar karbon Bumi kala itu melonjak tajam.
Menurutnya, kenaikan karbon ini terlalu drastis untuk proses geologi seperti letusan gunung berapi. "Mikroba dapat menghasilkan senyawa karbon secara cepat," ujar dia.
Simpulan itu diambil usai Rothman menganalisa genom Methanosarcina, sebuah metanogen yang bertanggung jawab untuk sebagian besar produksi gas metana biogenik di Bumi saat ini. Ia menemukan bahwa mikroba telah mampu menghasilkan metana sejak 231 juta tahun lalu. Inilah yang mengindikasikan mikroba sebagai penyebab kepunahan massal.
Apalagi, masih dari analisis sedimen, Rothman dan rekan-rekannya menemukan kadar nikel melonjak tajam persis 251 juta tahun lalu. Nikel diperkirakan berasal dari lava gunung berapi raksasa di Siberia. Nah, Methanosarcina menggunakan nikel dalam jumlah besar ini untuk menghasilkan metana secara cepat.
"Ini menunjukkan Methanosarcina memicu kepunahan massal," kata Rothman pada pertemuan American Geophysical Union di San Francisco.
Gagasan ini cukup meyakinkan bagi sebagian ahli geologi. Gagasan Rothman, yang menyatakan suatu makhluk hidup memicu kepunahan makhluk hidup lainnya, cukup menarik. "Mirip dengan kepunahan yang terjadi saat ini, sebagian sebagian besar didorong oleh manusia," kata Anthony Barnosky dari University of California, Berkeley.
Sumber: Tempo.co