Danau Toba |
Sekitar 74 ribu tahun
lalu, gunung berapi Toba di Pulau Sumatera meletus dahsyat dan
mengakibatkan bencana global. Letusannya diperkirakan 5 ribu kali lebih
besar dari letusan Gunung St Helens pada 1980 di Amerika Serikat serta
diyakini menjadi bencana vulkanik terbesar di Bumi selama 2 juta tahun
terakhir.
Toba memuntahkan lava yang cukup untuk membangun dua Gunung Everest. Toba juga menghasilkan abu sangat banyak yang menghalangi sinar matahari, mengakibatkan Bumi gelap sepanjang hari selama bertahun-tahun seperti sudah kiamat. Letusan dahsyat Toba meninggalkan bekas berupa kawah berdiameter rata-rata 50 kilometer yang kini dikenal sebagai Danau Toba.
Bahkan gunung berapi raksasa (supervolcano) ini mengirim cukup banyak asam sulfat ke atmosfer untuk membuat hujan asam di daerah kutub Bumi. Informasi ini diperoleh setelah para ilmuwan mengais jejak sisa asam sulfat dalam inti es kutub yang dalam.
"Kami melacak jejak hujan asam dalam lapisan es di Greenland dan Antartika," kata Anders Svensson, ahli gletser dari Institut Niels Bohr di Universitas Copenhagen, Denmark, Selasa 6 November 2012.
Para ilmuwan telah lama mengira bekas kekuatan letusan Toba dapat ditemukan di lapisan es Greenland. Namun, mereka selama ini tidak dapat menemukan sisa abu vulkanik sehingga dugaan tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya.
"Tapi kini kami telah menemukan lapisan asam dari letusan Toba dalam lapisan es Greenland dan Antartika," kata Svensson. Ia dan timnya telah menganalisis lapisan es tahunan dari inti es di kedua lokasi, lantas mencocokannya. Greenland mewakili kutub utara Bumi, adapun Antartika adalah kutub selatan Bumi.
Inti es bisa memberikan bukti lebih detail tentang bagaimana iklim Bumi berubah drastis hanya beberapa tahun setelah letusan dahsyat Toba. Para ilmuwan sebelumnya memperkirakan bahwa letusan supervolcano akan memicu pendinginan global hingga 10 derajat Celcius selama beberapa dekade. Namun, inti es di kedua kutub menunjukkan pendinginan terjadi dalam waktu yang lebih pendek dan tidak konsisten di seluruh belahan Bumi.
"Tidak ada pendinginan global yang merata sebagai akibat dari letusan Toba," kata Svensson, mengacu kurva temperatur inti es. Menurut dia, fluktuasi pendinginan suhu yang besar hanya dijumpai di belahan Bumi utara, sedangkan di belahan Bumi selatan menjadi lebih hangat. "Kondisi ini mengakibatkan pendinginan global terjadi dalam periode singkat."
Bukti baru yang ditemukan Svensson dan rekan-rekannya menjanjikan jalan keluar bagi sejumlah perdebatan arkeologi. Letusan Toba terjadi pada titik kritis dalam sejarah manusia purba ketika Homo sapiens pertama kali berkeliaran keluar dari Afrika ke Asia. Namun, ada perbedaan pendapat yang luas tentang bagaimana nasib manusia awal yang terkena dampak letusan Toba. "Apakah sebagian besar penghuni Bumi musnah oleh letusan itu?" ujar Svensson.
Ia mengatakan, lapisan abu vulkanik dari letusan Toba telah ditemukan di sebagian besar wilayah Asia. Material letusan ini digunakan sebagai petunjuk arkeologi kuno yang sangat penting mewakili peradaban yang dianggap terlalu tua untuk dilakukan penanggalan karbon. Sedangkan analisis inti es menyediakan informasi lainnya untuk menempatkan temuan arkeologi kuno secara lebih akurat.
"Posisi letusan Toba dalam rekaman inti es akan menempatkan temuan arkeologis dalam konteks iklim. Ini akan sangat membantu untuk menjelaskan periode kritis sejarah manusia," kata Svensson. Penelitian ini secara rinci dimuat dalam jurnal Climate of the Past.
Toba memuntahkan lava yang cukup untuk membangun dua Gunung Everest. Toba juga menghasilkan abu sangat banyak yang menghalangi sinar matahari, mengakibatkan Bumi gelap sepanjang hari selama bertahun-tahun seperti sudah kiamat. Letusan dahsyat Toba meninggalkan bekas berupa kawah berdiameter rata-rata 50 kilometer yang kini dikenal sebagai Danau Toba.
Bahkan gunung berapi raksasa (supervolcano) ini mengirim cukup banyak asam sulfat ke atmosfer untuk membuat hujan asam di daerah kutub Bumi. Informasi ini diperoleh setelah para ilmuwan mengais jejak sisa asam sulfat dalam inti es kutub yang dalam.
"Kami melacak jejak hujan asam dalam lapisan es di Greenland dan Antartika," kata Anders Svensson, ahli gletser dari Institut Niels Bohr di Universitas Copenhagen, Denmark, Selasa 6 November 2012.
Para ilmuwan telah lama mengira bekas kekuatan letusan Toba dapat ditemukan di lapisan es Greenland. Namun, mereka selama ini tidak dapat menemukan sisa abu vulkanik sehingga dugaan tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya.
"Tapi kini kami telah menemukan lapisan asam dari letusan Toba dalam lapisan es Greenland dan Antartika," kata Svensson. Ia dan timnya telah menganalisis lapisan es tahunan dari inti es di kedua lokasi, lantas mencocokannya. Greenland mewakili kutub utara Bumi, adapun Antartika adalah kutub selatan Bumi.
Inti es bisa memberikan bukti lebih detail tentang bagaimana iklim Bumi berubah drastis hanya beberapa tahun setelah letusan dahsyat Toba. Para ilmuwan sebelumnya memperkirakan bahwa letusan supervolcano akan memicu pendinginan global hingga 10 derajat Celcius selama beberapa dekade. Namun, inti es di kedua kutub menunjukkan pendinginan terjadi dalam waktu yang lebih pendek dan tidak konsisten di seluruh belahan Bumi.
"Tidak ada pendinginan global yang merata sebagai akibat dari letusan Toba," kata Svensson, mengacu kurva temperatur inti es. Menurut dia, fluktuasi pendinginan suhu yang besar hanya dijumpai di belahan Bumi utara, sedangkan di belahan Bumi selatan menjadi lebih hangat. "Kondisi ini mengakibatkan pendinginan global terjadi dalam periode singkat."
Bukti baru yang ditemukan Svensson dan rekan-rekannya menjanjikan jalan keluar bagi sejumlah perdebatan arkeologi. Letusan Toba terjadi pada titik kritis dalam sejarah manusia purba ketika Homo sapiens pertama kali berkeliaran keluar dari Afrika ke Asia. Namun, ada perbedaan pendapat yang luas tentang bagaimana nasib manusia awal yang terkena dampak letusan Toba. "Apakah sebagian besar penghuni Bumi musnah oleh letusan itu?" ujar Svensson.
Ia mengatakan, lapisan abu vulkanik dari letusan Toba telah ditemukan di sebagian besar wilayah Asia. Material letusan ini digunakan sebagai petunjuk arkeologi kuno yang sangat penting mewakili peradaban yang dianggap terlalu tua untuk dilakukan penanggalan karbon. Sedangkan analisis inti es menyediakan informasi lainnya untuk menempatkan temuan arkeologi kuno secara lebih akurat.
"Posisi letusan Toba dalam rekaman inti es akan menempatkan temuan arkeologis dalam konteks iklim. Ini akan sangat membantu untuk menjelaskan periode kritis sejarah manusia," kata Svensson. Penelitian ini secara rinci dimuat dalam jurnal Climate of the Past.
sumber:tempo.co