Layang-layang dalam proyek "Float Beijing" dilengkapi lampu LED untuk memantau polusi. |
Layang-layang merupakan salah satu tradisi kuno di China. Namun, kini
mahasiswa pascasarjana China dan Amerika Serikat menyulap layang-layang
menjadi alat modern yang dapat digunakan untuk memantau kualitas udara
di langit Beijing.
Proyek yang diberi nama "Float Beijing" tercetus karena dilatarbelakangi kontroversi mengenai perbedaan hasil data statistik polusi udara di China yang terjadi beberapa bulan silam.
Layang-layang dicoba diterbangkan ke langit dengan membawa sensor polusi udara dan lampu LED berwarna-warni yang nantinya berfungsi menunjukkan tingkat kualitas udara. Ketika lampu yang menyala hijau artinya kualitas baik, kuning artinya rata-rata, merah menunjukkan tidak sehat, dan merah jambu artinya sangat tidak sehat.
Proyek ini mengalami peningkatan pembiayaan sebesar US$5000 (sekitar Rp 48 juta) dan sempat melakukan workshop pertamanya di Beijing pada Agustus silam. "Sensor ini cukup mudah untuk layang-layang sampai ke gunung. Dengan alat tersebut, layang-layang membantu kami menemukan tempat terbaik setelah beberapa tes dilakukan," kata Deren Guler, kandidat master dalam bidang desain interaksi nyata di Carnegie Mellon University, Amerika Serikat.
Dalam proyek ini, Guler bekerja sama dengan Xiaowei Wang, seorang calon master di bidang arsitektur landscape dari Universitas Harvard. Mereka mencoba mengembangkan layang-layang sebagai langkah solutif untuk memenuhi keinginan Pemerintah China untuk menciptakan alat yang dapat membaca polusi udara dengan lebih detail. Akhirnya tercetuslah proyek "Float Beijing" yang memadukan antara tradisi China kuno dan teknologi modern.
Wang juga mengajak perancang layang-layang lokal untuk ikut berkontribusi membuat rancangan layang-layang. Ajakan yang kemudian disambut antusias oleh para perancang layang-layang.
"Mereka menawarkan kami beberapa rancangan layang-layang dengan hiasan lampu yang mana dapat membantu kami bereksperimen. Dan, mereka juga menawarkan untuk menjual modul yang kita miliki," kata Guler.
Workshop pertama di Beijing mengajarkan warga China bagaimana memasang sensor polusi udara di layang-layang. Layang-layang ini nantinya bukan hanya mampu mendeteksi dan menampilkan tingkat karbon monoksida dan senyawa organik yang mudah menguap, tetapi juga mengumpulkan dan menyimpan data.
Tak dapat dimungkiri, industrialisasi yang berkembang pesat di China membuat kualitas udara semakin buruk. Pemerintah setempat telah berusaha mati-matian untuk memperbaiki kondisi ini sejak China ditetapkan menjadi tuan rumah perhelatan Olimpiade Beijing 2008.
Isu ini kian memanas ketika beberapa bulan lalu warga China melihat perbedaan besar hasil polusi udara yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan hasil yang dikeluarkan Pemerintah China. Hasil yang dikeluarkan Kedubes AS lebih buruk dibandingkan dengan dari hasil pemantauan yang dilakukan Pemerintah China.
Proyek yang diberi nama "Float Beijing" tercetus karena dilatarbelakangi kontroversi mengenai perbedaan hasil data statistik polusi udara di China yang terjadi beberapa bulan silam.
Layang-layang dicoba diterbangkan ke langit dengan membawa sensor polusi udara dan lampu LED berwarna-warni yang nantinya berfungsi menunjukkan tingkat kualitas udara. Ketika lampu yang menyala hijau artinya kualitas baik, kuning artinya rata-rata, merah menunjukkan tidak sehat, dan merah jambu artinya sangat tidak sehat.
Proyek ini mengalami peningkatan pembiayaan sebesar US$5000 (sekitar Rp 48 juta) dan sempat melakukan workshop pertamanya di Beijing pada Agustus silam. "Sensor ini cukup mudah untuk layang-layang sampai ke gunung. Dengan alat tersebut, layang-layang membantu kami menemukan tempat terbaik setelah beberapa tes dilakukan," kata Deren Guler, kandidat master dalam bidang desain interaksi nyata di Carnegie Mellon University, Amerika Serikat.
Dalam proyek ini, Guler bekerja sama dengan Xiaowei Wang, seorang calon master di bidang arsitektur landscape dari Universitas Harvard. Mereka mencoba mengembangkan layang-layang sebagai langkah solutif untuk memenuhi keinginan Pemerintah China untuk menciptakan alat yang dapat membaca polusi udara dengan lebih detail. Akhirnya tercetuslah proyek "Float Beijing" yang memadukan antara tradisi China kuno dan teknologi modern.
Wang juga mengajak perancang layang-layang lokal untuk ikut berkontribusi membuat rancangan layang-layang. Ajakan yang kemudian disambut antusias oleh para perancang layang-layang.
"Mereka menawarkan kami beberapa rancangan layang-layang dengan hiasan lampu yang mana dapat membantu kami bereksperimen. Dan, mereka juga menawarkan untuk menjual modul yang kita miliki," kata Guler.
Workshop pertama di Beijing mengajarkan warga China bagaimana memasang sensor polusi udara di layang-layang. Layang-layang ini nantinya bukan hanya mampu mendeteksi dan menampilkan tingkat karbon monoksida dan senyawa organik yang mudah menguap, tetapi juga mengumpulkan dan menyimpan data.
Tak dapat dimungkiri, industrialisasi yang berkembang pesat di China membuat kualitas udara semakin buruk. Pemerintah setempat telah berusaha mati-matian untuk memperbaiki kondisi ini sejak China ditetapkan menjadi tuan rumah perhelatan Olimpiade Beijing 2008.
Isu ini kian memanas ketika beberapa bulan lalu warga China melihat perbedaan besar hasil polusi udara yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan hasil yang dikeluarkan Pemerintah China. Hasil yang dikeluarkan Kedubes AS lebih buruk dibandingkan dengan dari hasil pemantauan yang dilakukan Pemerintah China.